Hari raya keagamaan oleh masyarakat Indonesia dikenal sebagai hari saling berkunjung dan bersilaturahmi. Sapaan “apa kabar” dan sejenisnya dalam kesempatan itu tentunya merupakan hal lazim yang ditemui. Dari sapa menyapa kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang lebih mendetail dan pribadi.
Ada satu kebiasaan yang secara berulang dilakukan dan karenanya menjadi bahasan setiap kali mendekati hari raya. Pertanyaan semacam “Kapan menikah?”, “Kapan lulus?”, hingga “Kok, gendutan?” (atau kurusan) sering dialami atau dilakukan orang. Pertanyaan itu umumnya diajukan oleh sanak saudara yang berusia lebih tua kepada anggota keluarga yang lebih muda. Akibatnya banyak sekali yang merasa bingung bagaimana menjawab atau menanggapi pertanyaan semacam itu.
Media sosial saat mendekati hari raya juga ramai membahas hal sejenis itu. Tips dan trik yang bisa dipraktikkan banyak bertebaran di lini masa media sosial dan cukup banyak pula yang mengamini. Jika dicermati, banyak yang menyampaikan tanggapan atau jawaban positif, tetapi lebih banyak yang hanya berkomentar sekenanya, bahkan cenderung negatif.
Geoffery Leech (1974) menjelaskan bahwa bahasa memiliki lima fungsi, yaitu (1) informational, (2) expressive, (3) directive, (4) aesthetic, dan (5) phatic. Fungsi bahasa yang pertama adalah untuk mendapatkan informasi yang dianggap penting dalam sebuah percakapan. Pada fungsi ekspresif, bahasa bisa digunakan untuk mengekspresikan perasaan. Bahasa juga memiliki fungsi direktif, yaitu memengaruhi atau mengarahkan kawan atau mitra bicara. Fungsi estetis biasanya berhubungan dengan aspek puitis bahasa. Bahasa juga memiliki fungsi fatis, yaitu menjaga hubungan sosial tetap baik dan suasana percakapan terpelihara meskipun kadang-kadang tanpa makna.
Fungsi fatis serupa konsepnya dengan basa-basi di Indonesia. Basa-basi dilakukan untuk membuka percakapan dan ditujukan untuk menjaga hubungan sosial. Percakapan selama hari raya seringkali berfungsi fatis. Percakapan tidak bertujuan mencari informasi dan makna secara mendalam, tetapi sekadar menjaga kesopanan dan hubungan sosial. Dalam konteks itu pertanyaan-pertanyaan di atas dan sejenisnya seharusnya tidak dibiasakan menjadi hal yang lazim meskipun fungsinya fatis.
Pergeseran budaya basa-basi menuju ranah dan konotasi negatif sedang dan akan terus terjadi. Budaya basa-basi sudah hampir basi dan tidak layak dikonsumsi jika kalimat atau sapaan dalam berkomunikasi tidak dipilih dan dipilah dengan bijak. Lambat laun basa-basi akan ditinggalkan dan sepenuhnya dianggap tidak baik. Jangan sampai budaya basa-basi yang mulanya positif dimaknai negatif karena kekurangcakapan dalam berbahasa.
Sumber:
(Anisa Fitriani)