Karya: Ridzaty Almira K.
Cahaya berjalan di lorong-lorong sempit perkotaan. Membawa niat dan tekad mengadu nasib di Ibu Kota. Berbekal ijazah SMP dan beberapa helai baju dan celana yang tak baru tampaknya ia berjalan melewati gedung-gedung tinggi yang baru ia lihat saat itu. Maklumlah, tinggal jauh dari perkotaan membuat Cahaya menjadi lebih akrab dengan sawah dan ladang bukan dengan gedung-gedung pencakar langit yang zaman kini orang berlomba-lomba membangunnya untuk mencapai kesejahteraan. Padahal, itu awal dari sebuah kehancuran dan kebinasaan. Cahaya terus berjalan, sesekali ia duduk di kursi taman yang harganya mungkin lebih mahal dari ayam-ayamnya di kampung. “Oh ternyata Ibu Kota lebih dari apa yang kubayangkan saat kecil dulu,” gumamnya dalam hati.
Cahaya terus menyusuri kota Jakarta, hingga ia tiba di sebuah kedai es degan. Tenggorokan kering karena cuaca yang begitu panas membuat Cahaya harus merogoh koceknya mencari selembar uang lima ribu rupiah untuk mendapatkan sekantong es degan. Tak seperti di kampungnya, dengan gratis Cahaya dapat menikmati es degan tepat di bawah pohonnya yang rindang pula sambil ditemani semilir angin, oh begitu nikmatnya.
“Pak, saya mau es degannya satu ya, esnya banyak” pinta Cahaya kepada tukang es degan yang sedari tadi tersenyum melihat wajah Cahaya. Sepertinya ia paham betul, Cahaya bukan berasal dari Ibu Kota.
“Baik,Neng. Manis sekali senyumannya di tengah cuaca yang panas ini” goda Penjual Es Degan.
“Ah, bisa saja pak” sahut Cahaya.
“Jangan panggil pak, Neng. Umur saya belum setengah abad, panggil saja abang. Neng pasti bukan berasal dari sini, ya?”
“Iya, Bang. Saya dari kampung ke sini mau nyari kerja”.
Begitulah percakapan Cahaya dan Si Penjual Es Degan. Tak terasa, Cahaya telah menghabiskan sekantong es degan lengkap dengan isinya yang segar.
Beruntung Cahaya bertemu dengan Si Penjual Es Degan itu. Tak hanya menghilangkan rasa haus ia juga mendapat informasi mengenai lowongan kerja yang menerima lulusan SMP. Segera ia langkahkan kaki dengan mantap menuju sebuah kantor bertuliskan “Mitra Buana” di persimpangan Jalan Kenanga. Sesampainya di depan kantor, bukan main terpana Cahaya. Ia membayangkan bekerja di sebuah kantor yang besarnya bisa sepuluh kali rumah di kampung. Gedung kantor lima belas lantai itu tampak begitu kokoh. Cahaya masuk. Ia melihat ke kanan, ke kiri, ke sekeliling. Bibir Cahaya tak henti berdecak kagum. Cahaya sampai di meja resepsionis. “Ada yang bisa kami bantu, Mbak,” sapa ramah petugas resepsionis.
“Saya ingin melamar kerja, apakah di sini ada lowongan kerja untuk saya lulusan SMP?”
“Wah kebetulan sekali, Mbak. Di sini sedang mencari OB, apakah Mbak berkenan?”
“Iya, Mbak. Saya mau”.
Cahaya diarahkan menuju Ruang HRD. Setelah melalui proses beberapa menit kemudian Cahaya resmi menjadi OB di kantor tersebut. Bukan main senangnya Cahaya.
Hari kembali pagi, Cahaya sudah tiba di kantor pagi-pagi sekali. Semua buku tertata rapi di meja. Kaca sudah mengilap bahkan lalat pun terpeleset jika hinggap. Semua senang dengan keberadaan Cahaya. Ditambah wajah riang dibumbui dengan senyuman manis yang selalu disuguhkannya kepada setiap orang. Begitupun dengan Andra. Petugas bagian HRD yang beberapa waktu lalu mewawancarai Cahaya. Sejak awal Andra menaruh perhatian lebih pada Cahaya. Ia kagum dengan rupa dan kepolosan seorang gadis dari kampung yang tengah mengadu nasib di Ibu Kota.
“Sudah makan siang, Cahaya?” terdengar suara bass, istilah yang digunakan dalam bidang paduan suara untuk melukiskan suara pria yang berat. Jarak suara itu hanya sekitar satu meter dari punggung Cahaya. Hari itu Andra mencoba mulai berbagi rasa dengan Cahaya. Sejak percakapan siang itu mereka menjadi dekat. Benang kasih telah dirajut antara keduanya. Mereka berangkat dan pulang kerja bersama meskipun di kantor hubungan keduanya hanya sebatas HRD dan OB.
Menit berganti jam, jam pun tak mau diam hingga berganti hari. Cahaya begitu bahagia dengan kehidupannya di kota. Ia lupa Ayahnya menunggu di kabarnya. Cahaya merupakan anak tunggal dan Ibunya telah meninggal sejak Ia masih bayi. Ia tinggal bersama ayahnya dengan kehidupan yang serba pas-pasan, maklumlah ayahnya hanya seorang kuli bangunan. Maka dari itu, Cahaya hanya lulus SMP karena kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikan SMA dan ia bertekad untuk mengadu nasib di kota untuk menaikkan taraf hidup keluarganya.
Namun, waktu memang tidak bisa memberi kepastian apa yang akan terjadi ke depan. Cahaya yang dikenal memiliki perangai baik kini berubah menjadi Cahaya yang tak biasa. Waktu dan tempat telah mengubah segalanya. Termasuk orang-orang terdekat. Kampung yang indah dengan perangai baik berubah menjadi kota besar penuh gedung pencakar langit dengan perangai buruk dijunjung di atasnya. Andra telah merubah Cahaya.
Kembali dengan Cahaya dan hingar bingar kehidupan kotanya. Jam dinding kayu dari Cirebon itu menunjukkan pukul 23.00. Setengah sadar, Cahaya membuka pintu kamar indekosnya dengan langkah gontai. Hampir saja ia salah masuk kamar karena minuman alkohol yang ditenggaknya sedang bereaksi. Tanpa melepas alas kaki ia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur dengan seprai warna ungu yang masih baru. Ia tertidur. Begitu lelah membawanya sampai ke alam bawah sadar dirinya.
Gelap malam menghantui di sekliling. Bukan, ini bukan sekedar gelap malam, lebih dari itu, ya lain dari itu. Sebuah gelap benar-benar gelap sehingga Cahaya pun tak mampu menjangkau dimana kakinya berpijak. Di sanalah Cahaya. Di tengah ruang kosong yang gelap bahkan tak tau apa isinya. Langkah kaki seorang dengan tubuh besar kelihatannya terdengar dihentak mendekati tubuhnya yang kecil dalam ruangan hampa itu. Semakin dekat semakin tak karuan, kaki Cahaya mulai melangkah dengan maksud menjauh dari sumber hentakan. Ada yang menahan, memegang erat kakinya dari bawah agar tak beranjak. Sekuat tenaga ingin menjauh, sekuat itu Cahaya seperti ditarik mundur. Habis napasnya berusaha keluar dari tempat gelap antah berantah itu, namun suara hentakan yang daritadi ia dengar masih saja menghantui di belakang tanpa sampai wujudnya. Dinding semakin bergema seirama, semakin menggigil, Cahaya pun semakin tak bernyawa rasanya. Terlihat diujung sana cahaya samar-samar menembus satu titik dalam ruangan itu, tapi Cahaya tak bisa apa-apa. Diluar ruangan terdengar suara orang bercengkerama seperti biasanya tapi tak ada satupun yang mendengar apa yang ia teriakkan. Lagi lagi suara itu dating. Semakin dicobanya untuk menjauh, semakin tak mampu kakinya beranjak pergi. Di ujung titik cahaya, ia melihat sosok tinggi kurus dengan wajah keriput tengah menggotong batu bata di pundaknya. Terlihat sesekali sosok tersebut mengelap peluh di dahinya. Ya, sosok itu, sosok yang tak asing bagi Cahaya, sosok yang selama ini ia tinggalkan dan lupakan. Ayahnya, seorang kuli bangunan di kampung demi menghidupi anak semata wayangnya tanpa bantuan seorang istri.
Lagi. Jam dari Cirebon tersebut menjadi saksi. Waktu menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Cahaya sadar badannya basah oleh peluh dan kini dirinya sudah tak di kasur. Ruangan gelap, suara itu, dan sosok yang dijumpainya malam tadi membuat ia sadar. Ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Sosok ayahnya, kampungnya, serta niat dan tekadnya untuk mengadu nasib di kota. Semua orang tak bisa menyalahkan waktu, semua orang juga tak tau apa yang akan diubah dan dilukis oleh waktu. Hati yang kuat dan tidak goyahlah yang dapat menghalau dan mengatur apa yang akan diberikan oleh waktu. “Begitupun dengan Cahaya, berbagai sinar kehidupan yang diterimanya mampu merubah perangainya dan sinarnya jugalah yang mampu merubah kembali perangai tersebut. Tak lupa, dengan uluran tangan waktu”. Bunyi dialog Cahaya dan sinarnya.