Perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa persatuan setakat ini begitu pesat dan dinamis. Penggunaannya pun semakin luas dan masif dalam berbagai ranah. Sejalan dengan perkembangan itu, bahasa Indonesia wajib memiliki kaidah dan aturan yang baku dan ketat. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menjadi salah satu rujukan dan pedoman untuk dapat berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dalam praktik berbahasa, penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi antarmanusia kadang-kadang memunculkan hal-hal yang lucu dan menggelikan. Hal itu, selain faktor kesengajaan, menjadi pertanda bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik. Dalam konteks kekinian, penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial menciptakan banyak tafsiran ketika penggunaannya kurang baik.
Salah satu sebab kesalahan tafsir dalam berkomunikasi ialah kalimat yang digunakan oleh pengguna bahasa mengandung ketaksaan atau ambiguitas. Karakter bahasa Indonesia sangat memungkinkan terjadinya hal itu. Ketaksaan atau ambiguitas dapat diartikan sebagai bentuk atau konstruksi, bisa berupa kata atau kalimat, yang memiliki lebih dari satu makna. Ketaksaan makna itu juga dapat disebabkan oleh pemenggalan kata yang tidak tepat dalam ragam tulis atau kesalahan intonasi dan jeda dalam ragam lisan. Polisem juga dapat menyebabkan ketaksaan. Konteks, dan dalam beberapa kasus, tanda baca, menjadi kunci untuk dapat memutuskan makna yang tepat.
Kempson (1977:38) menyebutkan tiga bentuk utama ambiguitas (ketaksaan), yaitu yang berhubungan dengan fonetik, gramatikal, dan leksikal.
- Ambiguitas Fonetik
Ambiguitas fonetik adalah ambiguitas yang ada pada ranah fonetik (sistem bunyi). Ambiguitas dalam hal ini muncul karena berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan oleh penutur. Untuk menghindari ambiguitas, petutur (mitra tutur) dapat meminta penutur untuk mengulang tuturannya.
Kata beruang dapat dimaknai orang yang memiliki uang atau nama binatang, sedangkan kata menggaruk dapat dimaknai menggaruk-garuk (karena gatal dan sebagainya) atau menggaruk (memarut) kelapa.
- Ambiguitas Gramatikal
Tingkatan ambiguitas ini sedikit lebih kompleks daripada sebelumnya karena keambiguan muncul pada tataran morfologi (kata) dan sintaksis (kalimat). Kata sayang dan termakan dalam kalimat di bawah ini berpotensi memunculkan ketaksaan.
Contoh 1:
“Sayang aku sudah pindah.”
Kata sayang dapat dimaknai sebagai pemberitahuan kepada kekasih (yang dipanggil sayang) kalau dirinya sudah pindah atau dapat juga dimaknai sebagai suatu penyesalan atau ketakrelaan.
Contoh 2:
“Buah itu termakan oleh Ayah.”
Kata termakan dapat dimaknai dapat dimakan (oleh Ayah) atau dapat juga menyatakan ketidaksengajaan.
Selain itu, kata yang memiliki prefiks ter-, ber– dan pe-, rawan menimbulkan ketaksaan juga. Kata terfoto dapat dimaknai sudah difoto atau tidak sengaja difoto. Demikian pula kata beranak yang dapat dimaknai mempunyai anak atau melahirkan.
- Ambiguitas Leksikal
Pada ranah leksikon, ambiguitas dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama ialah adanya gejala polisemi. Polisemi merupakan bentuk bahasa (kata, frasa, dsb.) yang mempunyai makna lebih dari satu. Makna lebih dari satu tersebut terjadi karena adanya beberapa konsep dalam pemaknaan suatu kata.
Kata darah dalam kalimat Kakinya mengeluarkan darah karena terantuk akar pohon bermakna cairan yang terdiri atas plasma, sedangkan dalam kalimat Aku masih ada pertalian darah dengan dia bermakna keturunan atau hubungan keluarga. Kata darah dapat pula dimaknai bakat atau pembawaan dalam kalimat Penulis itu memiliki darah seni.
Homonimi, yaitu kata-kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi maknanya berbeda, juga dapat memunculkan ketaksaan. Kata genting dalam kalimat Seluruh dunia sedang dalam suasana genting karena menghadapi pandemi Covid-19 bermakna tegang atau berbahaya, sedangkan dalam kalimat Genting rumahku dicat merah bermakna tutup atap rumah yang terbuat dari tanah liat atau logam.