Natasya Atmim M
Entah mana yang harus aku kutuk lebih banyak; dua bungkus kompres plester atau demam yang kurang ajar. Pagi yang belum genap betul, nyawaku juga belum hadir sempurna. Berulang-ulang aku mencoba mengingat hal apa saja yang telah kualami sejak kemarin. Berulang-ulang mengingat kembali perjalanan ke air terjun bersama teman-teman kantor, menerobos hujan, kemudian tubuhku demam dan mengantarku pada kondisi ini; Sabtu pagi aku berjalan kaki ke supermarket untuk dua bungkus kompres plester,
lalu aku lupa jalan pulang.
Kuletakkan di meja kasir; dua bungkus kompres plester, dua bungkus bubur instan, satu kotak susu vanila satu liter. Tanpa melihat wajah pembeli, seorang kasir wanita menghitung belanjaanku sambil mulutnya komat-kamit menawarkan produk-produk diskon yang sudah ia ulang ratusan kali sehari sehingga hanya seperti robot menjalankan tugas tanpa niat ingin mendengar jawaban dari pembeli, sudah pasti karena sebagian besar hanya menjawab tidak, dan sisanya berbaik hati menambahkan terima kasih. Saat itulah televisi supermarket yang awalnya menyiarkan acara musik di saluran lokal tiba-tiba beralih menjadi siaran berita terkini. Walikota mengeluarkan pernyataan eksklusif, satu warga kota kami sudah dikonfirmasi positif terinfeksi virus. Aku hanya mendengar sepintas karena lebih sibuk memperhatikan produk-produk perawatan kulit yang tersusun rapi pada rak di belakang kasir berdiri. Ada beragam merek dengan warna-warna dan kemasan manis, aku masih lebih tertarik membayangkan merek mana yang mungkin menjadi kesukaan istriku kelak seandainya aku sudah menemukannya. Tapi semua orang di dalam supermarket tiba-tiba menahan teriakan kaget.
Semua warga kota mengerti wabah itu sedang mukbang korban di berbagai belahan dunia. Sejak kasus positif pertama dikonfirmasi sebulan lalu, dalam sekejap ramai pemberitaan korban-korban terinfeksi yang terus bermunculan makin banyak, rumah sakit-rumah sakit yang kemudian penuh, hingga beragam jenis sosialisasi tindakan preventif baik dari pemerintah, tenaga-tenaga medis, hingga para selebritas. Seperti membalikkan telapak tangan, masyarakat segera beradaptasi mengandalkan segala jenis media dan platform daring untuk semua keperluan komunikasi atau penyiaran berita karena justru dengan diam di rumah masing-masing, manusia dapat saling menyelamatkan.
Namun sementara itu tidak banyak perubahan terjadi di kota kami, kota kecil di ujung pulau meskipun tidak pula ketinggalan berita dan informasi karena kami tidak kesusahan listrik. Anak-anak sekolah baru saja diliburkan seminggu yang lalu karena banyaknya protes dari para orangtua sementara semua pegawai negeri tetap bekerja seperti biasa. Barangkali sebab tidak padatnya tingkat keluar-masuk di kota ini membuat walikota tidak menggembar-gemborkan imbauan kewaspadaan atau banyak tindakan preventif. Bahkan minggu lalu konser malam mingguan masih dilaksanakan seperti biasa di alun-alun. Konser yang dimaksud yaitu disediakannya satu band pengiring di panggung alun-alun lalu siapa pun bebas menjadi penyanyinya, menghibur segala macam aktivitas malam minggu, dari kumpulan remaja makan sate usus hingga pasangan-pasangan yang tidak pernah menyerah mencari pojok sepi di tempat teramai sekali pun.
Seorang pegawai laki-laki yang baru saja selesai berbicara di telepon berjalan mendekati si kasir wanita, berkata pelan, “Dua minggu ke depan kita tutup sementara.”
“Oke.” Lawan bicaranya mengangguk santai seperti sudah tahu perintah itu memang akan langsung diberikan dua menit setelah berita di saluran lokal hari ini.
Aku akhirnya tidak dapat menahan diri untuk berkomentar, “Wah, langsung mau tutup ya, Mba?”
Si kasir tampak terkejut, mungkin tidak mengira pembeli di depannya akan berkomentar, tapi segera menyahut, “Iya, Mas. Tapi akan buka lagi dengan menyesuaikan standar dan protokol keamanan seperti yang sudah diterapkan di ibukota-ibukota itu.”
“Oalah. Kota kita meskipun lebih terlambat, akhirnya tetap kena juga ya.”
Si kasir hanya memberi senyum.
“Setidaknya kita bisa santai di rumah sambil memantau perkembangan lewat televisi, Mba.”
Ia tertawa kecil, “Kalau Tuhan tidak jail sama kita, Mas.”
Aku hanya balas tertawa lalu berjalan keluar sambil membawa belanjaan. Jika kota kecil ini sudah turut terinveksi virus, maka sebentar lagi memang akan banyak kondisi yang berubah. Mungkin mulai minggu depan seluruh kantor akan diliburkan, dan aku perlu berbelanja banyak stok makanan setidaknya untuk dua minggu ke depan.
Kepalaku berdenyut ketika tubuhku kembali mendapat sinar matahari langsung begitu keluar dari supermarket, aku hampir lupa akan demamku karena pemberitaan tadi dan bukannya buru-buru lekas kembali ke rumah untuk beristirahat. Hari libur ini harus dimanfaatkan dengan baik. Aku meneruskan berjalan ke arah rumah seperti biasa. Tidak ada firasat buruk atau perut yang mendadak mules kecuali aku langsung tidak bisa mengenali lingkungan sekitar sama sekali. Aku berjalan, putar balik berganti arah, putar balik mencoba jalan lain, tapi tak kunjung menemukan rumahku. Satu jam berjalan melalui berbagai arah, mengantarku kembali ke supermarket.
Yang menyambutku adalah supermarket itu telah tutup saat aku memutuskan kembali ke sana. Ini bahkan masih pukul sepuluh pagi. Lalu kusadari jalan raya pun mulai sepi dalam sekejap, dan beberapa toko-toko di pinggir jalan sudah ada beberapa yang tutup, sebagian lagi masih buka. Aku seketika menjadi tunawisma karena pergi keluar membeli kompres plester. Mungkin lebih terlihat seperti orang gila yang habis mencuri kunci rumah orang. Tuhan sungguh-sungguh menjailiku.
Hari pertama, yang pertama kali kukutuk justru supermarket itu. Taik.
Aku berakhir duduk di salah satu kursi lantai dua kedai yang sudah tutup sejak kemarin. Setahun terakhir hampir setiap malam aku duduk di sini, di pojok kanan menghadap jalan raya yang paling bisa membuatku nyaman mengerjakan apa saja. Karena begitu sering datang ke sini bahkan akrab dengan semua pegawai, salah satu pegawai yang paling akrab denganku membocorkan jalan tikus untuk masuk ke kedai ini tanpa kunci apa pun. Kedai ini rupanya berhubungan langsung dengan rumah makan di sebelahnya, entah karena pemilik yang sama, atau berawal dari satu bangunan yang sama, aku masih sungkan menanyakannya lebih lanjut. Yang jelas, aku bisa masuk lewat pintu belakang rumah makan yang tidak pernah dikunci, lalu langsung menuju kedai. Ia tidak keberatan memberitahukan itu saat pengisi dayaku tertinggal di kursi dan aku disuruhnya mengambil sendiri karena kedai sudah tutup. Meskipun aku sebenarnya bisa menyelinap ke kedai ini sekaligus ke rumah makan di sebelah, dapur dan ruang kasir mereka memiliki pintu bergembok, jadi aku memang hanya bisa sebatas menumpang kehangatan bangunan mereka dari dunia luar bajingan. Aku sebenarnya tidak ingin membuat rencana buruk jika besok-besok dunia semakin kocak dan rumahku juga belum ditemukan, aku harus mendobrak pintu dapur-dapur ini untuk mencuri makanan yang tersisa, tapi tetap saja aku telah memikirkan kemungkinan itu.
Maka jika ada satu saja teman bicara di sampingku saat ini, akan kukatakan betapa tidak percayanya aku telah melewati satu malam sendirian tidur di sebuah kedai dalam keadaan perut hanya terisi susu. Kuingat bagaimana masa-masa sulit yang pernah kualami saat kuliah. Tinggal di sekretariat UKM kampus berbulan-bulan, menginap berhari-hari di warkop yang buka 24 jam, berpindah-pindah dari masjid ke masjid, dan lebih menyedihkan lagi jika mengingat apa saja yang bisa kumakan di masa itu demi tetap bertahan hidup.
Ditemani seorang pedagang kaki lima ke sekian, kemarin sore aku sempat berkeliling mendatangi dua ketua RT di sekitar sana karena aku lupa yang mana ketua RT ku dan aku tahu hidupku akan semakin menggemaskan sebab tidak ada yang mengenaliku. Kedua ketua RT itu sama-sama mengatakan bahwa aku tidak tercatat sebagai warga di RT mereka yang membuatku menyesal tidak pernah mengakrabkan diri dengan ketua RT atau tetangga-tetangga sekitar rumah agar setidaknya aku pernah memiliki foto bersama dengan mereka. Mereka ingin mengantarkanku pulang seandainya aku masih mengingat alamat rumahku, minimal nama jalannya saja. Tapi, aku tidak bisa mengingat informasi apa pun. Pedagang kaki lima itu terus membujukku untuk ikut ke rumahnya karena khawatir mengetahui badanku yang demam. Tapi melihat kepanikan sunyi yang sudah melanda warga kota, rasanya aku tidak ingin membuat satu keluarga lain semakin resah karena membawaku yang asing ini menginap di rumah mereka.
“Ikut saya ke rumah saja dulu malam ini. Saya bikinkan bubur di rumah. Tapi, ya, seadanya memang, Mas.”
Ada yang berdesir di jantungku. Melesat ingatan tentang pemegang predikat koki terhebat di hidupku. Jika aku diserang demam atau tidak enak badan atau sakit gigi, ibuku akan membuatkan bubur yang nampaknya hanya berisi isian wortel, kentang, dan daun sop, tapi sudah mampu menjadi bubur paling lezat di dunia. Seolah semua penyakit akan sembuh dengan bubur yang panas. Tapi sayangnya aku tidak pernah sakit dalam waktu yang lama, pun sakit yang serius, sehingga aku akan segera pulih dengan sendirinya setelah menyantap masakan ibu. Mungkin aku bersedia disuguhi bubur panas setiap hari meskipun sakit tiga belas hari. Tapi aku tetap memilih keputusan awal tidak ingin merepotkan keluarga Beliau. Aku yakin akan pulang hari ini juga, bau rumahku bahkan seharusnya masih tercium dari sini.
Lalu langit bergulir gelap dan aku masih tidak menemukan bau rumah itu.
Aku menatap lurus ke jalan raya yang kian sunyi, kian jarang motor melintas. Hanya pikiran dan imajinasiku satu-satunya yang bisa membantuku menghabiskan angka demi angka pada jam yang sudah tidak kupeduli menunjukkan pukul berapa. Dalam sore kemarin aku sudah mencoba beragam ide, meminjam gawai seseorang yang sedang mampir membeli jajanan di pedagang kaki lima untuk menghubungi teman-temanku melalui media sosial, meminta tolong pengendara motor yang tidak berboncengan untuk mengantarku ke rumah temanku, tapi tidak ada keberuntungan yang berpihak. Hasilnya selalu membuatku kembali berjalan gontai ke emperan toko. Karena dugaan burukku yang terjadi, teman yang sudah kuhubungi untuk datang menjemput pun juga tidak kunjung datang hingga malam semakin larut. Seorang tukang nasi goreng mendorong gerobaknya lewat di depanku.
Aku lalu menceritakan kesialanku hari ini dan bapak itu menyimak penuh perhatian. Aku beruntung karena Beliau memiliki ponsel yang memang model kuno tapi ada pulsa untuk menelepon. Nomor temanku masih tidak aktif, dan aku tentu tidak hafal nomor teman-teman yang lain. Siapa yang menghafal nomor teman di zaman ini? Tapi siapa pula di zaman ini yang ke luar rumah tanpa membawa ponsel?
Dengan senyum suram kukembalikan ponsel si bapak, “Tidak diangkat, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak.”
Tapi Beliau malah sudah sibuk menyalakan kompor, mengambil sepiring nasi, dan perlengkapan lainnya, “Duduk dulu, Mas.”
“Ada apa, Pak?”
“Mas makan dulu saja. Saya hanya bisa menolong seperti ini, Mas,”
“Loh, jangan, Pak. Saya sudah makan. Tidak apa-apa, tidak usah.” Aku sungguh-sungguh menolak namun si bapak rupanya juga sungguh-sungguh ingin memberiku nasi goreng. Aku terus menolak sampai akhirnya menurut ketika Beliau berucap, “izinkan saya bersedekah satu bungkus saja hari ini.”
“Sepuluh tahun saya berjualan nasi goreng, baru malam ini saya pulang jam sembilan malam dan sudah sepi begini.” Si bapak membuka obrolan. Rupanya baru jam sembilan. Jadilah kami berdua duduk di trotoar, menghadap jalan.
“Iya, Pak. Saya tidak mengira reaksi masyarakat sangat cepat berubah hanya dalam setengah hari. Memangnya walikota sudah memberikan instruksi pembatasan sosial ya, Pak? Tidak boleh ada yang nongkrong-nongkrong lagi, begitu?”
“Saya juga tak mengerti, Mas. Tak nonton tv selama jualan.” Beliau tertawa lagi. Nasi goreng yang kumakan menjadi berkali-kali lipat lebih lezat ditemani tawa si bapak.
“Mas, tahu mitos patung di sana itu?” Di topik obrolan ke sekian, si bapak tiba-tiba menunjuk patung kuda di gerbang komplek perumahan yang berada tidak jauh dari tempat kami duduk.
“Tidak tahu, Pak.”
“Jika patung itu mendengar kita lewat dan bersiul di depannya tengah malam begini, katanya matanya bisa bergerak mengikuti kita sampai kita hilang dari pandangannya.”
Aku menghentikan kunyahan suapan terakhir nasi goreng, mengingat diriku sendiri yang masih sering jalan kaki atau naik ojek ke mana-mana, juga tentunya sering pulang malam, “Ada yang pernah mengalami, Pak? Sungguhan itu?”
Si bapak diam sejenak, lalu tertawa lebar, “Alhamdulillah Mas, patung tidak bisa mendengar.”
Aku terdiam sejenak sebelum ikut terbahak-bahak. Rupanya aku sungguhan sedang bodoh. Lupa rumah sendiri dan sekarang terkecoh dengan materi gurauan bapak-bapak. Tapi hidupku tetap lebih lucu dari cerita Beliau, mungkin aku adalah materi gurauan Tuhan.
Selesai menghabiskan nasi goreng dan beberapa obrolan lagi, bapak penjual nasi goreng itu pamit pulang dan saat itu aku sudah menemukan ide untuk tidur di kedai ini yang menurutku akan lebih aman dan hangat. Tidur bersama hantu-hantu kedai jauh lebih baik daripada dijilati anjing di emperan toko. Meskipun gelap dan menyedihkan, aku bisa pulas di lantai dua kedai ini setelah diam-diam masuk lewat jalan tikus untuk kedua kalinya. Aku tidur lelap setelah tersenyum membayangkan kasurku yang hangat pasti masih setia menungguku di rumah. Aku akan segera pulang; mandi, makan bubur instan hangat-hangat, kemudian melompat ke kasur dan kembali tidur dengan kompres plester di dahi. Besok aku akan pulang.
Kuturuni tangga dan kembali keluar melalui jalan tikus. Udara pertama yang kuhirup setelah keluar dari kedai terasa aneh. Pandanganku menyapu seluruh sudut yang bisa dijangkau mataku, dan aku tidak menemukan satu manusia pun. Jika dalam sehari kemarin orang-orang bisa begitu cepat bertransisi ke masa karantina yang seperti hanya tinggal menekan tombol pengganti mode, maka wajar di hari kedua ini kotaku sudah mati. Satu, dua, tiga. Aku mulai berjalan ke arah yang menurutku benar, kembali ke supermarket kemarin yang sudah lebih banyak kukutuk melebihi kompres plester yang tersisa satu bungkus di tanganku. Aku sudah tidak berminat memikirkan apakah suhu tubuhku sudah normal atau masih panas. Dua puluh empat, dua puluh lima, dua puluh enam.
Aku terus berjalan dan tidak ingin memastikan bahwa lingkungan sekitarku sebenarnya menjadi semakin asing. Lima ribu tiga ratus tiga satu. Lima ribu tiga ratus tiga dua. Aku bahkan tidak kunjung menemukan si supermarket sialan, dan kedai yang sudah menampungku tadi malam juga sudah tidak nampak lagi keberadaannya jauh di belakang. Tidak kubiarkan pikiran buruk sedikit saja melintas di kepalaku. Aku hanya harus berjalan, mengikuti sisa-sisa instingku yang ada, bahwa aku akan sampai di sebuah tempat. Di sebuah tujuan. Ada beberapa manusia yang bisa kulihat di rumah mereka masing-masing sepanjang perjalanan, ada beberapa yang bisa kuajak berbincang singkat. Itu masih pertanda baik. Aku harus bersyukur masih bisa menggunakan bahasa yang sama seperti mereka. Tapi semuanya sama-sama memberi respons masuk ke dalam rumah, kembali keluar dan menggantung seplastik makanan di pagar, dan menggelengkan kepala ketika aku memohon dipinjamkan ponsel apalagi sukarela mengizinkanku istirahat di teras mereka. Padahal aku tidak mengemis makanan.
Tujuh ribu. Aku berhenti. Kedua kakiku gemetar. Aku duduk sembarang di pinggir jalan, meluruskan kaki ke tengah jalan, toh tidak ada satu pun kendaraan yang lewat. Aku menghabiskan jumlah langkah dalam sehari yang dibutuhkan manusia normal seusiaku agar hidup sehat dalam sekali jalan. Kakiku yakin aku salah menghitung dan ini seperti sudah langkah ke sepuluh ribu. Kubanting kantong plastik yang masih saja kutenteng sejak kemarin hingga semua isinya terlempar keluar dengan harapan akan memunculkan suara nyaring untuk membuatku puas, tapi yang keluar hanya suara puk dan kresek-kresek kecil menyebalkan. Saat marah pun aku tidak punya sesuatu yang memuaskan untuk dilempar. Dadaku justru semakin menggebu saat menyadari aku sedang marah dan membenci diriku sendiri yang mengacaukan kehidupan karena hal sederhana.
Suara pagar rumah di depanku digeser. Seorang gadis keluar dari baliknya. Sebuah rumah kayu kecil dan sederhana berdiri, tidak bertingkat, dengan halaman yang kelihatan dipenuhi beragam jenis bunga. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan bawah wajah perempuan itu sempurna mirip denganku, dalam bentuk perempuan. Hanya saja rambutnya lurus sebahu, bibirnya lebih merah dibanding bibirku, dan badannya lebih ramping dariku. Sisanya, serupa sempurna.
Aku bergegas bangkit berdiri, tidak peduli meski gadis yang membuka pagar itu adalah alien atau hantu yang meniru wajahku sekali pun, “Saya minta tolong. Saya kehilangan rumah.”
Tidak mengatakan apa-apa, gadis itu membuka pagar begitu lebar, dan aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk masuk rumah mana saja sebelum ia berubah pikiran.
Cahaya kuning menyinari isi rumah, atmosfer hangat melingkupi ruangan. Seluruh lantainya ditutupi oleh karpet berbulu sehingga hampir tidak memunculkan suara apa pun saat melangkah di atasnya. Mengekor di belakang si gadis, aku lalu menemukan ibuku duduk di ruang makan, menggendong Alek kucingku yang sudah kupelihara lima belas tahun, seperti tidak peduli pada kekacauan senyap yang terjadi di luar dan hanya ingin memberiku kejutan sederhana dengan semangkuk besar bubur di atas meja lengkap bersama uap panas yang masih mengepul. Aku bahkan lupa untuk memedulikan siapa gadis yang telah membuka rumahnya untukku, namun aku sudah merasa ingin tinggal di sini selamanya. Baru kusadari sebungkus kompres plester masih tergenggam di tangan kiriku, hanya lebih panjang sedikit dari jari tengahku dengan lebar tak lebih dari dua ruas jari, licin masih terbungkus plastik, rasanya sungguh nyata.
Gadis yang tadi membukakan pintu tiba-tiba mendekati kami berdua, mengacaukan kesenyapan romantis pemandangan ibu dan Alek di ruang makan, “Bu, ada orang di depan pagar.”
Ibuku berdiri berusaha menengok balik jendela dari ruang makan. Peminta-minta lagi ya. Ia bergegas berdiri mengambil sebuah kantong plastik putih berukuran sedang di atas lemari yang dapat kulihat isinya dua bungkus kompres plester, dua bungkus bubur instan, satu kotak susu vanila satu liter, “Gantung di pagar dan kamu langsung masuk rumah.”
Si gadis mengangguk dan langsung mengerjakan apa yang disuruh. Baru kusadari sebungkus kompres plester masih tergenggam di tangan kiriku, hanya lebih panjang sedikit dari jari tengahku dengan lebar tak lebih dari dua ruas jari, licin masih terbungkus plastik, rasanya sungguh nyata.
***