Sarasehan Konflik-Konflik Kebahasaan Berindikasi Hukum diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah pada Selasa dan Rabu, 1 dan 2 Maret 2022 di aula Kahayan 2 Swiss Belhotel Danum Palangka Raya. Peserta kegiatan ini terdiri atas 25 orang yang mewakili berbagai lembaga di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu dari Biro Hukum Setda Provinsi Kalimantan Tengah, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Tengah, Polda Kalimantan Tengah, DAD Kalimantan Tengah, PWI Kalimantan Tengah, Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Polres Kota Palanga Raya, Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, dan BEM Universitas Palangka Raya.
Kegiatan yang diikuti oleh peserta dari berbagai lembaga di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut dibuka secara resmi oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Valentina Lovina Tanate, M.Hum. Kesadaran masyarakat dalam berbahasa menjadi fokus pembahasan yang disampaikan Kepala Balai dalam sambutannya. Perkembangan teknologi informasi di Indonesia adalah tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia, khususnya dalam berbahasa. Ketidakbijakan dalam menggunakan bahasa, baik dalam bermedia sosial, maupun dalam percakapan secara langsung, dapat memicu terjadinya konflik. Konflik tersebut sering kali terjadi karena ketidaktepatan memilih kata sehingga timbul penghinaan dan pencemaran nama baik, misalnya. Oleh karena itu, sebagai pengguna bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah, masyarakat harus bijak dalam memilih kata.
Seiring dengan yang disampaikan oleh Kepala Balai Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Drs. Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, M.Pd. dari Badan Riset Inovasi Nasional yang juga menjadi narsumber dalam sarasehan ini menyampaikan bahwa sumber konflik kebahasaan dapat berupa ujaran dan/atau tulisan. Isi ujaran dan/atau tulisan yang dapat dijadikan sebagai delik pidana biasanya berupa ungkapan tabu yang menghina, menista, mengolok-olok, mengutuk, memaki, mencemarkan nama baik, memfitnah, mengejek, hingga menyebarkan berita bohong. Bentuk dari setiap ungkapan tabu tesebut beragam. Dalam linguistik, pragmatik biasa digunakan para ahli bahasa untuk menganalisis data-data kebahasaan yang menimbulkan konflik. Teori sepeech acts, cooperative principles, hedge, politeness, hingga teori mengancam muka dapat membantu kerja ahli bahasa dalam mengungkap maksud dan makna data-data kebahasaan yang dimasalahkan.
Basa Emden Banjarnahor, S.I.K., M.H., Kasubdit I/Indagsi Ditreskrimsus Polda Kalimantan Tengah, yang juga menjadi narasumber dalam sarasehan ini menyampaikan bahwa jerat pidana dalam bidang kebahasaan ini dapat terjadi selain karena kemajuan teknologi informasi, tetapi juga karena dalih kebebasan berpendapat. Setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan mengemukakan pendapat. Namun, karena tidak bijak dalam mengemukakan pendapat tersebut, jadinya malah menimbulkan konflik. Padahal, penggunaan bahasa yang tidak tepat dapat dijerat dengan pasal pidana yang mengacu pada undang-undang atau peraturan yang berlaku, seperti KUHP atau Undang-Undang ITE.
Keadilan restoratif (restorative justice) juga menjadi materi yang tidak dilewatkan dalam sarasehan ini. Basa Emden Banjarnahor, S.I.K., M.H. menyampaikan bahwa masyarakat membutuhkan suatu penegakan hukum yang dapat mengakomodir kepentingan dan menyelesaikan permasalahan secara adil serta menampung aspirasi kehendak masyarakat itu sendiri, terutama kepentingan pemulihan korban yang selama ini menjadi pihak yang dirugikan dan tidak mendapat perhatian. Itulah salah satu penyebab pentingya keadilan restoratifini.Keadilan restoratifini pun telah menjadi program nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana dan program Kapolri. Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P., Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, menyampaikan bahwa restorative justice ini merupakan pendekatan dalam penegakan hukum pidana yang mengusahakan penyelesaian secara damai dengan menjadikan hukum sebagai pembangun harmoni yang bukan sekadar mencari yang menang dan yang kalah, serta bukan sekadar untuk menghukum pelaku dengan maksud membangun kondisi keadilan dan keseimbangan antara pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat.
Bintarno, S.H., M.H., Kabag Bantuan Hukum Biro Hukum Setda Provinsi Kalimantan Tengah, menyampaikan peran pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah dalam menangani konflik-konflik kebahasaan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam hal ini, pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah sedang mengupayakan penerbitan peraturan daerah yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan di Provinsi Kalimantan Tengah. Selain itu, pemerintah daerah memberikan ruang gerak dan fasilitas bagi masyarakat Kalimantan Tengah untuk mengekspresikan diri melalui penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam berbagai kegiatan. Hal ini tidak lepas dari keberagaman suku bangsa yang tinggal di Provinsi Kalimantan Tengah. Perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak, terutama dalam hal berbahasa, agar tidak terjadi konflik-konflik, khususnya konflik kebahasaan antarsuku di Kalimantan Tengah.
Sarasehan Konflik-Konflik Kebahasaan Berindikasi Hukum Tahun 2022 ditutup secara resmi oleh Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Valentina Lovina Tanate, M.Hum. Sebelum acara ditutup, seorang peserta kegiatan menyampaikan bahwa sarasehan ini sangat bermanfaat. Peserta menjadi lebih memahami peran bahasa dan konflik-konflik berindikasi hukum yang dapat terjadi karena tidak bijak dalam berbahasa. Oleh karena itu, bijaklah berbahasa, pelajari hukum, dan jauhi hukuman.